Ilustrasi Foto Teroris |
Oleh : Al Chaidar
Departemen Antropologi, Universitas Malikussaleh,
Lhokseumawe, Aceh |
Merebaknya virus Corona —yang kemudian berubah menjadi penyakit Covid-19— di seluruh dunia telah membuat banyak kantor ditutup dan sebagian besar orang bekerja dari rumah. Namun tidak bagi teroris; mereka justru berkeliaran keluar rumah karena menganggap ini adalah waktu yang mustajabah (momen terbaik) untuk melancarkan teror yang telah lama mereka rencanakan. Ada persepsi bahwa virus corona adalah “tentara Tuhan” yang sengaja diturunkan ke bumi ini untuk memerangi kaum kafir yang selama ini dilindungi oleh para thoghut (musuh Allah) di seluruh dunia.
Bagi kelompok teroris, virus corona adalah makhluk
Tuhan yang sengaja dikirim untuk menjangkiti dan membunuh orang-orang tertentu
yang dianggap sebagai orang zalim, penentang Tuhan dan penindas umat Islam. Persepsi
ini dikonstruksi oleh ulama organik yang senantiasa menjadi pengasuh pengajian
keagamaan di kalangan mereka. Tidak semua jaringan teroris mendapatkan
konstruksi pemikiran keagamaan seperti ini, hanya kelompok JAD Jawa Tengah saja
yang memaknai covid-19 sebagai tentara Tuhan. Oleh karenanya, banyak kelompok
teroris lain yang berlainan jaringan tidak melakukan serangan teror di musim
covid-19 sekarang ini.
Baca Juga: Mengapa Malaysia Lebih Sukses Memerangi Terorisme
Teroris
Karanganyar
Jejaring teroris yang paling aktif selama ini adalah dari
kelompok Jamaah Ansharu Daulah (JAD) wilayah Karanganyar. Sebelumnya,
penangkapan paling banyak dari JAD Bekasi, Solo, Tangerang, Surabaya, Sidoarjo
dan Madiun. Wilayah ini merupakan wilayah Mujahidin Indonesia Barat (MIB) dalam
struktur kelompok teroris yang berafiliasi kepada ISIS (islamic State of Iraq
and Syria). Kelompok ini terkait dengan jaringan pelaku bom Thamrin 14 Januari
2016.
Jaringan kelompok ini memiliki ulama organik yang bersifat
kekerasan, yang memberikan pertimbangan syariah atas tindakan-tindakan amaliyah (serangan
teror) yang akan dilakukan. Ulama organiknya adalah Syamsuddin yang hingga hari
ini masih buron. Tidak tertutup kemungkinan jaringan JAD Jawa Tengah
menyebarkan interpretasi atas doktrin jihad ini ke wilayah lain di luar Jawa.
Para peneliti menelusuri konstruksi ide bahwa virus corona
adalah “tentara Tuhan” yang datang membantu kelompok ISIS di seluruh dunia.
Kelompok ISIS pada saat sekarang tengah mengalami kejatuhan secara drastis
setelah terbunuhnya Khalifah Al Baghdady yang kemudian digantikan oleh Al
Quraishy. Asal mula konstruksi ide ini berasal dari kelompok Ciamis yang dibawa
oleh Karyono Widodo alias Sujak.
Baca Juga: Pesan Untuk OPM: Teroris Tak Berhak Menuntut Kemerdekaan
Kelompok Ciamis sudah lama mengkonstruksikan bahwa makhluk Tuhan
yang kecil yang akan membunuh thoghut sama seperti yang
dialami oleh Fir’aun dan Qarun di masa Nabi Musa alaihissalam. Suyanto (Abu
Izzah) sudah mengembangkan ide ini sejak 2015 yang kemudian disambut oleh
banyak anggota jaringannya di Karanganyar hingga ke Madiun. Baru pada tahun
2020 inilah ide “tentara Tuhan tak kasat mata” ini dipersepsikan kepada virus
Corona.
Terorisme Keluarga
Dari pengembangan data dan penelusuran terhadap jaringan
Kelompok Ciamis yang ada di Karanganyar ini, pihak kepolisian kemudian
menangkap Junaidi dan Harmawati yang merupakan pasangan suami-istri beserta
anaknya. Kelompok ini juga mulai mengadopsi ide-ide terorisme sekeluarga yang
secara teologis dianggap sebagai “perjuangan agama” untuk menegakkan sistem
khilafah di Indonesia (Dedy Tabrani, 2017). Bagi mereka, semua anggota keluarga
(istri dan anak-anak) diajak serta dalam setiap serangan amaliyah.
Ide ini pertama sekali diperkenalkan oleh Ustadz Khalid dan Abu Umar di
Surabaya, Jawa Timur.
Baca Juga: 5 Fakta yang Diketahui Sejauh ini Soal Virus Corona
Ide ini juga sempat
beredar hingga ke Sidoardjo dan Batang (Jawa Tengah) dimana Subhan dan Zulfikar
merencanakan untuk menyerang beberapa kantor polisi di wilayah tersebut dengan
menggunakan bom rakitan dan senjata pisau. Untuk operasionalnya, mereka
merencanakan melakukan perampokan (fa’i) terhadap beberapa toko dan
warung yang dimiliki oleh etnis Tionghoa. Berkelindannya motif teologis dengan
motif rasial dan etnis dalam gerakan teror ini (Schwartz, Dunkel, dan
Waterman,2009) akan membuat peta jejaring terorisme di Indonesia semakin rumit.
0 Comments