Oleh : Al Chaidar
Departemen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh
Al-Chaidar (Departemen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh) |
Pada 12 Juni 2020, saya datang ke Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag, Belanda. Ada janji bertemu untuk membahas tentang dagang produk-produk Indonesia yang bisa dijual di Belanda dan Uni Eropa. Dari Leiden, saya naik kereta api dan sambung dengan bus, turun di Museum Nelson Mandela.
Ketika tiba di Tobiaas
Asserlaan, saya terkejut karena ada demo OPM (Organisasi Papua Merdeka) di
seberang jalan lokasi KBRI. Para pendemo meneriakkan yel-yel merdeka bagi
Papua, Aceh dan juga RMS (Republik Maluku Selatan). Sebagai orang Aceh saya
senang karena ada sedikit “pembelaan” terhadap kampung saya yang hingga hari
ini belum juga merdeka, meski darah para syuhada telah berkali-kali tumpah ruah
di sana.
Karena saya tak
dibukakan pintu untuk masuk ke kedutaan, saya terus mengikuti narasi
kemerdekaan yang diteriakkan oleh para pendemo OPM dengan menggunakan
loud-speaker yang dihadiri oleh 11 orang. Tidak ada seorang pun yang peduli
dengan demo ini. Dari seberang jalan saya menyaksikan demo tersebut sambil
berpikir: bukankah Belanda negara yang menjunjung-tinggi hak-hak asasi manusia,
mengapa tak seorang pun dari mereka ikut serta dalam membela OPM? Sebagai
antropolog, saya mencoba mencari tahu mengapa tak ada dukungan terhadap OPM di
sini.
Baca Juga: 5 Fakta yang Diketahui Sejauh ini Soal Virus Corona
Para pendemo itu
terus-menerus meneriakkan: “shame on you Indonesia”, karena dianggap telah
berlaku zalim terhadap orang Papua. Saya justru berpikir sebaliknya: bukankah
seharusnya OPM malu karena telah melakukan kekerasan indiscriminatatif terhadap
orang-orang sipil yang sedang membangun jalan untuk rakyat.
Demo OPM (Organisasi Papua Merdeka) di seberang jalan lokasi KBRI, para pendemo meneriakkan yel-yel merdeka bagi Papua, Aceh dan juga RMS (Republik Maluku Selatan) |
Lihatlah betapa biadab
dan primitifnya teroris OPM: Pada 22 Juni 2018, menembak pesawat sipil
penumpang Kenyam; kemudian pada 25 Juni 2018 menyerang masyarakat sipil di Kota
Kenyam. Tiga orang meninggal dalam peristiwa itu, yakni Hendrik Sattu Kolab
(38) dan istrinya, Martha Palin (28) serta teman mereka, Zainal Abidin (20).
Sedangkan anak Hendrik yang berusia 6 tahun bernama Arjuna Kola mengalami luka
parah di wajah akibat dibacok dengan parang. Ini sungguh-sungguh kebiadaban
yang tak seorang Eropa pun sanggup membayangkannya.
Pada 3 hingga 17 Oktober 2018, sebanyak 15 orang guru dan tenaga kesehatan disandera di Distrik Mapenduma. Salah satu di antaranya seorang tenaga kesehatan diperkosa. Perkosaan adalah kejahatan luar biasa. Mungkin perlu ada lokalisasi di sana untuk meredam keberingasan ini.
Pada 1 hingga 2 Desember 2018, sebanyak 25 pekerja pembangunan jembatan itu kumpulkan dan dibawa ke Puncak Kabo dan kemudian dieksekusi. Sebanyak 4 orang berhasil melarikan diri dari eksekusi, 2 orang tak diketahui keberadaannya dan 19 orang dipastikan meninggal dunia.
Baca Juga: GedungUtama Kejaksaan Agung Luluh Lantak Dilahap Api
Belum cukup sampai di situ, pada 30 Maret
2019, OPM membunuh warga Selandia Baru di Freeport. Tidak adakah sense of
international support bagi pejuang liberalisasi bangsa dalam hal ini? Malah,
pada 15 Februari 2020, OPM membunuh 3 guru bakti bergaji rendah di bawah UMR.
Semua tindakan ini membuat warga dunia muak atas primitive rebel OPM.
Yoweri Museveni
(2001), mengatakan kepada Sidang Umum PBB bahwa perbedaan antara teroris dan
pejuang kemerdekaan harus dipahami. Dalam pidatonya di depan Majelis Umum,
Museveni membahas pertanyaan yang sering ditanyakan di Perserikatan
Bangsa-Bangsa, tetapi jarang dijawab dengan cara tertentu, “apa perbedaan
antara terorisme dan perjuangan yang sah untuk pembebasan?” Nelson Mandela
telah menjadi pejuang kebebasan hingga saat ini. Apakah dia seorang teroris?
Tentu saja tidak. Apakah Anda pernah mendengar Nelson Mandela membajak pesawat?
Apakah Anda pernah mendengar dia membunuh pekerja sipil, guru dan memperkosa bidan secara keji dan biadab? Nelson Mandela adalah seorang pejuang kemerdekaan, bukan teroris. Terorisme terjadi, kata Museveni, ketika tidak ada perbedaan yang dibuat antara kombatan dan warga sipil. Tindakan teroris adalah kriminal dan harus ditentang oleh semua sebagai prinsip.
Baca Juga: KembangKol dan Brokoli, Kunci Alami Jantung Sehat
“The difference between a terrorist and a
freedom fighter lies in the fact that while a freedom fighter sometimes may be
forced to use violence, he can not use indiscriminate violence. The one who
uses indiscriminate violence, that is the terrorist.” (Perbedaan antara teroris
dan pejuang kemerdekaan terletak pada kenyataan bahwa sementara seorang pejuang
kemerdekaan terkadang dipaksa untuk menggunakan kekerasan, dia tidak boleh
menggunakan kekerasan terhadap sipil. Orang yang menggunakan kekerasan tanpa
pandang bulu (terhadap sipil tak bersenjata), itulah teroris).
Sementara di
Indonesia, Menkopolhukam Prof Mahfudz MD tak sudi menyebut OPM sebagai teroris.
Sebagai ahli hukum tentu beda dengan antropolog yang berbicara agak sedikit
kasar tentang teroris. Mungkin bagi Menkopolhukam, OPM adalah generasi muda harapan
bangsa.
Shame on you OPM! Saya
jijik mendengar narasi demo itu. Jangan ajak-ajak Aceh untuk melakukan apa yang
oleh Eric J. Hobsbawm (1971) sebut sebagai primitive rebel ini. Bangsa Aceh tak
seprimitif kalian. Kami masih bisa membedakan antara berperang di jalan Allah
sebagai kombatan dengan tindakan memperkosa dan membunuh masyarakat sipil
secara buas. Orang-orang Aceh tak sedurjana OPM!*
Leiden, medio Agustus 2020
0 Comments