Oleh : Al Chaidar
Departemen
Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh
Sementara itu sehari sebelumnya beredar video seruan dan ancaman
dari kelompok bersenjata lainnya, Kelompok Yahdi di Aceh Timur yang menyerukan
agar orang-orang non-Aceh segera keluar dari wilayah Aceh. Kedua peristiwa ini
menyebar bagaikan virus flu burung di musim kemarau yang penuh asap. Kedua
peristiwa ini membingungkan sekaligus mengkhawatirkan. Aceh adalah daerah
pusaka endatu yang tak pernah berhenti bergolak, memberontak terhadap sistem
kekuasaan apapun: mulai dari kolonial Belanda (1873), kolonial fasis Jepang
(1942), hingga masa Republik (1946, 1953-1964, 1976-1985, 1989-1998, 2001-2003,
2005, 2010, 2015, 2017 dan sekarang, 2019). Aceh adalah daerah yang menolak
penguasa apapun yang mengatasnamakan ideologi selain Islam, termasuk Gajah Mada
yang gugur di Sungai Manyakpaet, Aceh Timur.
Untuk memberikan eksplanasi yang cukup atas pertiwa itu, tulisan ini akan membahas fenomena kemunculan gerakan-gerakan Pasca GAM (Gerakan Aceh Merdeka) setelah terbitnya MoU (Nota Ksepahaman) Helsinki dan ratifikasinya dalam bentuk UUPA tahun 2006. Banyak elemen GAM yang tak setuju dengan MoU Helsinki dan mulai mengumpulkan serpihan-serpihan kombatan yang banyak tergoda oleh rayuan proyek-proyek kontraktor dan program-program peng griek (recehan) lainnya. Yang tak tergoda itu mencoba mengajak kembali untuk menyebarkan spirit untuk merdeka di tengah-tengah zaman yang semakin materialistik dan bergelimangnya korupsi dan narkoba. Harum semerbak lembaran-lembaran Rupiah ternyata tak membuat beberapa mantan kombatan yang pernah menyaksikan rekan-rekan mereka syahid bersimbah darah yang bagaikan wangi kasturi.
Baca Juga: Melihat Wajah Pluralisme Hukum di Aceh
Pasca GAM
Pasca GAM adalah zaman revolusi perdamaian di Aceh sejak tahun
2006. Namun, damai adalah kata yang absurd untuk daerah yang tak pernah
berhenti bergolak ini. Pasca GAM adalah periode dimana kombatan berubah menjadi
kontraktor, gubernur, bupati, walikota, anggota parlemen lokal (DPRA, dan DPRK)
dan sisanya adalah preman-preman flamboyan yang masih setia menyapa orang-orang
di kampung (Edward Aspinall, 2009). Periode ini menyebarkan semangat baru: dari
perang ke damai, dari petempur ke komite-komite dan komisi-komisi yang semuanya
diisi oleh para pejuang Aceh Merdeka yang orang tuanya dulu pernah memberontak
di bawah panji-panji Darul Islam pimpinan Teungku Daud Beureu’eh.
Di tengah-tengah keasyikan mereka menikmati peralihan medan
perjuangan dari peluru dan mesiu kepada perjuangan kotak suara, muncul beberapa
gerakan intimidasi dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap non-Aceh
atau yang dipandang sudah mengkhianati garis perjuangan. Kelompok Ayah
Banta menyerang belasan orang di Simpang Keramat, Aceh Utara (Sidney Jones,
2007). Aksi ini membuat dia dipenjara bersama kaum jihadis Jamaah Islamiyyah
(JI) dalam sijjin (penjara) yang penuh gelora Islam takfiri.
Mereka mengubah tampilan wajahnya, dari separatis ke teroris.
Baca Juga: Terorisme
di Masa Pandemi
Kelompok Etnonasionalis
Ayah Banta tak sendirian. Jejak langkah intolerannya kemudian
diikuti oleh Din Minimi yang penuh jalinan hubungan haram dengan pihak
intelejen. Dua kelompok ini tak segan-segan membunuh siapa saja yang dianggap
sebagai “musuh” dalam persepsi periodik yang terus berubah-ubah. Mereka masih
tetap dengan ide-ide mulia untuk membebaskan Aceh lepas dari Indonesia.
Cara kekerasan bersenjata adalah satu-satunya yang sempat
terpikir oleh mereka yang berlatar-belakang pendidikan teknik dan ilmu-ilmu
eksakta. Hampir tidak ada kaum intelektual dan ulama yang mendukung
gerakan-gerakan kriminal bersenjata yang oleh pemerintah dinamakan KKB
(Kelompok Kekerasan Bersenjata). Kelompok kriminal Popaye, Rebon dan faksi
sempalan PNA adalah kelompok-kelompok gerakan etnonasionalisme yang masih
bergerak di Aceh.
Ide nasionalisme etnik yang sempit ini adalah satu-satunya
paradigma ideologis yang mereka ketahui. Mereka berjuang dengan semangat ashobiyah (nasionalisme,
chauvinisme, patriotisme fasis) yang kental berharap orang-orang Aceh
sadar dan bangkit mendukung mereka. Namun tak segelintir pun anak-anak milenial
Aceh yang tergoda oleh ideologi etno-nasionalisme yang semakin usang
digerogoti zaman. Ulama pun tak menggubris ajakan mereka sambil menyingsingkan
kain syal hijau di pundaknya.
Kelompok Jihadis
Di sisi lain, ada pergerakan senyap yang sangat mematikan:
gerakan jihadis yang pernah muncul di Bukit Jalin, Aceh Besar, tahun 2010.
Kelompok jihadis adalah kelompok berideologi Islam yang kemudian terjerembab ke
lembah-lembah kekerasan bersenjata yang penuh teror. Kelompok Yahdi,
Gambit, TAM, KPAD, TIAD, Kelompok Lam Teuba, Kelompok Teungku Rizal Kutablang,
Kelompok Abu Granat dan Pasukan Peudeung di Sawang adalah kelompok jihadis
lokal yang masih etnosentrik Pasee. Kelompok teroris ini menganut ideologi
Islamis yang tak didukung oleh para ulama Aceh yang mayoritas bermazhab
Syafi’iyah dan Maturidiyah.
Baca Juga: Mengapa Malaysia Lebih Sukses Memerangi Terorisme
Kelompok jihadis Bukit Jalin, Jantho (2010) ini umumnya
berasal dari luar Aceh dengan menawarkan ideologi Wahabi yang penuh sikap
takfiri (mengkafirkan sesama mazhab Sunni). Mereka terlalu kaku dan sok anti
bid’ah hingga membuat para ulama Aceh enggan memberi restu, apalagi mendukung.
Dukungan ulama menjadi kunci keberhasilan gerakan apapun di Aceh. Sekarang
muncul gerakan ISIS Aceh (Aulia cs di Aceh Besar) dan juga Abu Hamzah di Gunong
Salak, Aceh Utara, yang memiliki pengikut hingga 59 orang yang sudah ditangkap
Polisi Densus 88.
Prediksi saya: di masa-masa yang akan datang, gerakan jihadis
adalah gerakan favorit di Aceh: memiliki kekuatan bersenjata, tidak menuding
kafir kepada ulama dan umat Islam, didukung ulama dan intelektual sekuler dari
gunung hingga kota-kota pantai, memiliki kearifan lokal dan spirit jundullah
yang liat. Mungkin jihadis macam ini yang akan menjadi pola gerakan jihadis
ideal untuk segenap dunia Islam.
0 Comments