Ticker

6/recent/ticker-posts

Gerakan Pasca-GAM di Aceh

Oleh : Al Chaidar
Departemen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh


Artikel ini mencoba memberikan penjelasan atas munculnya peristiwa yang sangat mengejutkan yang terjadi kemarin pada tanggal 19 September 2019 di Trienggadeng, Pidie Jaya dimana sekelompok pria bersenjata ditembak di tengah pasar yang ramai dan brutal. Pada saat itu, tanpa perlawanan berarti; Abu Razak, Wan Neraka (dalam kondisi kritis), Zulfikar dan Amni pingsan, bersimbah darah. Sedangkan Wan Ompong ditangkap.

Sementara itu sehari sebelumnya beredar video seruan dan ancaman dari kelompok bersenjata lainnya, Kelompok Yahdi di Aceh Timur yang menyerukan agar orang-orang non-Aceh segera keluar dari wilayah Aceh. Kedua peristiwa ini menyebar bagaikan virus flu burung di musim kemarau yang penuh asap. Kedua peristiwa ini membingungkan sekaligus mengkhawatirkan. Aceh adalah daerah pusaka endatu yang tak pernah berhenti bergolak, memberontak terhadap sistem kekuasaan apapun: mulai dari kolonial Belanda (1873), kolonial fasis Jepang (1942), hingga masa Republik (1946, 1953-1964, 1976-1985, 1989-1998, 2001-2003, 2005, 2010, 2015, 2017 dan sekarang, 2019). Aceh adalah daerah yang menolak penguasa apapun yang mengatasnamakan ideologi selain Islam, termasuk Gajah Mada yang gugur di Sungai Manyakpaet, Aceh Timur.

Untuk memberikan eksplanasi yang cukup atas pertiwa itu, tulisan ini akan membahas fenomena kemunculan gerakan-gerakan Pasca GAM (Gerakan Aceh Merdeka) setelah terbitnya MoU (Nota Ksepahaman) Helsinki dan ratifikasinya dalam bentuk UUPA tahun 2006.  Banyak elemen GAM yang tak setuju dengan MoU Helsinki dan mulai mengumpulkan serpihan-serpihan kombatan yang banyak tergoda oleh rayuan proyek-proyek kontraktor dan program-program peng griek (recehan) lainnya. Yang tak tergoda itu mencoba mengajak kembali untuk menyebarkan spirit untuk merdeka di tengah-tengah zaman yang semakin materialistik dan bergelimangnya korupsi dan narkoba. Harum semerbak lembaran-lembaran Rupiah ternyata tak membuat beberapa mantan kombatan yang pernah menyaksikan rekan-rekan mereka syahid bersimbah darah yang bagaikan wangi kasturi.

Baca Juga: Melihat Wajah Pluralisme Hukum di Aceh 

Pasca GAM

Pasca GAM adalah zaman revolusi perdamaian di Aceh sejak tahun 2006. Namun, damai adalah kata yang absurd untuk daerah yang tak pernah berhenti bergolak ini. Pasca GAM adalah periode dimana kombatan berubah menjadi kontraktor, gubernur, bupati, walikota, anggota parlemen lokal (DPRA, dan DPRK) dan sisanya adalah preman-preman flamboyan yang masih setia menyapa orang-orang di kampung (Edward Aspinall, 2009). Periode ini menyebarkan semangat baru: dari perang ke damai, dari petempur ke komite-komite dan komisi-komisi yang semuanya diisi oleh para pejuang Aceh Merdeka yang orang tuanya dulu pernah memberontak di bawah panji-panji Darul Islam pimpinan Teungku Daud Beureu’eh.

Di tengah-tengah keasyikan mereka menikmati peralihan medan perjuangan dari peluru dan mesiu kepada perjuangan kotak suara, muncul beberapa gerakan intimidasi dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap non-Aceh atau yang dipandang sudah mengkhianati garis perjuangan.  Kelompok Ayah Banta menyerang belasan orang di Simpang Keramat, Aceh Utara (Sidney Jones, 2007). Aksi ini membuat dia dipenjara bersama kaum jihadis Jamaah Islamiyyah (JI) dalam sijjin (penjara) yang penuh gelora Islam takfiri. Mereka mengubah tampilan wajahnya, dari separatis ke teroris.

Baca Juga: Terorisme di Masa Pandemi

Kelompok Etnonasionalis

Ayah Banta tak sendirian. Jejak langkah intolerannya kemudian diikuti oleh Din Minimi yang penuh jalinan hubungan haram dengan pihak intelejen. Dua kelompok ini tak segan-segan membunuh siapa saja yang dianggap sebagai “musuh” dalam persepsi periodik yang terus berubah-ubah. Mereka masih tetap dengan ide-ide mulia untuk membebaskan Aceh lepas dari Indonesia.

Cara kekerasan bersenjata adalah satu-satunya yang sempat terpikir oleh mereka yang berlatar-belakang pendidikan teknik dan ilmu-ilmu eksakta. Hampir tidak ada kaum intelektual dan ulama yang mendukung gerakan-gerakan kriminal bersenjata yang oleh pemerintah dinamakan KKB (Kelompok Kekerasan Bersenjata). Kelompok kriminal Popaye, Rebon dan faksi sempalan PNA adalah kelompok-kelompok gerakan etnonasionalisme yang masih bergerak di Aceh.

Ide nasionalisme etnik yang sempit ini adalah satu-satunya paradigma ideologis yang mereka ketahui. Mereka berjuang dengan semangat ashobiyah (nasionalisme, chauvinisme, patriotisme fasis)  yang kental berharap orang-orang Aceh sadar dan bangkit mendukung mereka. Namun tak segelintir pun anak-anak milenial Aceh yang tergoda  oleh ideologi etno-nasionalisme yang semakin usang digerogoti zaman. Ulama pun tak menggubris ajakan mereka sambil menyingsingkan kain syal hijau di pundaknya.

Kelompok Jihadis

Di sisi lain, ada pergerakan senyap yang sangat mematikan: gerakan jihadis yang pernah muncul di Bukit Jalin, Aceh Besar, tahun 2010. Kelompok jihadis adalah kelompok berideologi Islam yang kemudian terjerembab ke lembah-lembah  kekerasan bersenjata yang penuh teror. Kelompok Yahdi, Gambit, TAM, KPAD, TIAD, Kelompok Lam Teuba, Kelompok Teungku Rizal Kutablang, Kelompok Abu Granat dan Pasukan Peudeung di Sawang adalah kelompok jihadis lokal yang masih etnosentrik Pasee. Kelompok teroris ini menganut ideologi Islamis yang tak didukung oleh para ulama Aceh yang mayoritas bermazhab Syafi’iyah dan Maturidiyah.

Baca Juga: Mengapa Malaysia Lebih Sukses Memerangi Terorisme

Kelompok jihadis  Bukit Jalin, Jantho (2010) ini umumnya berasal dari luar Aceh dengan menawarkan ideologi Wahabi yang penuh sikap takfiri (mengkafirkan sesama mazhab Sunni). Mereka terlalu kaku dan sok anti bid’ah hingga membuat para ulama Aceh enggan memberi restu, apalagi mendukung. Dukungan ulama menjadi kunci keberhasilan gerakan apapun di Aceh. Sekarang muncul gerakan ISIS Aceh (Aulia cs di Aceh Besar) dan juga Abu Hamzah di Gunong Salak, Aceh Utara, yang memiliki pengikut hingga 59 orang yang sudah ditangkap Polisi Densus 88.

Prediksi saya: di masa-masa yang akan datang, gerakan jihadis adalah gerakan favorit di Aceh: memiliki kekuatan bersenjata, tidak menuding kafir kepada ulama dan umat Islam, didukung ulama dan intelektual sekuler dari gunung hingga kota-kota pantai, memiliki kearifan lokal dan spirit jundullah yang liat. Mungkin jihadis macam ini yang akan menjadi pola gerakan jihadis ideal untuk segenap dunia Islam.

Email: alchaidar@unimal.ac.id

Post a Comment

0 Comments

BREAKING NEWS

Cara Terbaik Mendapatkan Bitcoin Gratis Hingga 0.03 BTC

Bitcoin Gratis ~ Bitcoin adalah sebuah mata uang virtual yang penuh dengan misteri, mulai dari pembuatnya yang belum diketahui sampai de...