ilustrasi artikelddk.com |
Berkaca dari Kasus Kekerasan Seksual terhadap Santri Pesantren An-Nahla
Oleh : Al Chaidar
Departemen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe,
Aceh
Pada awal Juli 2019 merebak berita yang sangat tragis: Oknum
Pimpinan Pesantren (AI) bersama satu orang ustadz (MY) dari Pesantren An Nahla
di Lhokseumawe, Aceh, melakukan kekerasan seksual pedofilia terhadap 15 santri
laki-lakinya selama dua tahun. Ini merupakan kasus kekerasan seksual terhadap
anak yang terberitakan sangat heboh terjadi di Aceh. Selama ini korban tidak
berani melaporkan tindakan kekerasan seksual yang dialaminya, bukan hanya
karena takut atas keselamatan dirinya, namun juga karena menganggap perlu
menyelamatkan nama baik pesantren, nama baik para ustadz sebagai pengajar atau
pendiri atau pengelola, nama baik para pejabat pemerintah daerah yang sering
berkunjung dan berpose cipika-cipiki dengan pengurus pesantren serta nama orang
tua para santri yang menyekolahkan anak-anak mereka di pesantren tahfidz (penghapal)
kitab suci tersebut.
Kasus ini menarik untuk didiskusikan, untuk melihat bagaimana
bekerjanya hukum dalam penanganan perkara ini. Kepentingan siapa yang akan
diperjuangkan oleh hukum? Apakah korban akan mendapatkan sejatinya keadilan?
Atau hukum akan membiarkan saja kasus ini? – seperti juga kasus-kasus kekerasan
seksual lainnya yang terjadi di dalam lingkup pendidikan yang selama ini sering
kita dengar. Atau mungkin, proses penegakan hukum tetap berlangsung, hanya saja
kita harus lebih banyak berdoa agar dalam proses penanganannya, aparatur
penegak hukum mau meningkatkan sensitifitas dan perspektifnya sehingga kita
tidak melihat nantinya APH membebaskan pelaku sebagaimana yang telah terjadi di
Cibinong atas kasus perkosaan dan sodomi yang dialami kakak beradik “J &
J”. Yang tak kalah pentingnya adalah untuk melihat bagaimana wajah pluralisme
hukum diterapkan dalam kasus ini pada wilayah yang terkenal mulai menerapkan
syariat Islam sejak tahun 2002.
Pelembutan Hukum Syariat
Sistem hukum di Indonesia mengakui keberadaan pluralisme hukum.
Hukum yang sah bukan hanya hukum yang diundangkan oleh pemerintah, namun juga
hukum adat sebagai hukum yang hidup di masyarakat serta hukum Islam – yang juga
telah memberikan pengaruh signifikan atas perkembangan hukum nasional.
Pemberlakuan pluralisme hukum sendiri seringnya menunjukkan kondisi yang lemah
(Ratno Lukito: 2008). Peranan negara dalam ranah normatif sangatlah mendasar,
sehingga apa yang kita sebut hukum pada dasarnya adalah hukum yang diproduksi
oleh negara dan memiliki peranan sentral, sedangkan posisi hukum lainnya adalah
berada di pinggiran.
Baca Juga: Terorismedi Masa Pandemi
Sejak diberlakukannya hukum syariat Islam di Aceh hingga kini,
banyak kasus yang sudah ditangani dan diambil alih oleh instrumen hukum
syariat. Publik menyambut hukum syariat ini karena dianggap lebih berat dan
lebih memberikan efek jera secara sosial. Hukum syariat “dianggap” lebih
memenuhi rasa keadilan masyarakat ketimbang hukum negara yang telah lama
dipraktekkan oleh pemerintah pusat. Dalam konteks kekerasan seksual yang telah
terjadi atas anak-anak ini, tidak dapat dipungkiri bahwa kasus ini adalah merupakan
kejahatan terhadap kemanusiaan, sehingga penanganannya juga diharapkan
berkesuaian dengan tingkat dampak yang ditimbulkannya. Penyidik serta Jaksa
telah menetapkan untuk menjerat pelaku dengan Qanun Jinayat yang keputusan ini
kemudian disesali oleh publik.
Perkembangan terakhir menunjukkan adanya “pelembutan” atau
semacam over-simplifikasi hukum yang berlebihan dimana semua pelanggaran pidana
diganjar dengan cambuk. Publik memandang hukum syariat Islam adalah identik
dengan cambuk. Sebagaimana yang disampaikan oleh Reza Idria (2015: 169) “Hukum
syariat di Aceh sebenarnya hanya memenuhi rasa haus masyarakat akan tontonan
ketika cambuk digelar”. Menjadi pertanyaan apakah akhirnya semua bentuk
penghukuman akan dikonvergensikan kepada cambuk? Cambukisasi hukum syariah
adalah gejala umum yang sangat membahana di seantero Aceh. Semua pelanggaran
Syariah dikenakan cambuk termasuk perzinahan, perkosaan dan kejahatan-kejahatan
susila lainnya.
Yang membuat banyak aktivis perempuan & anak meradang
adalah adanya kecenderungan para aparat penegak hukum untuk menggunakan hukum
syariat yang sudah dilembekkan ini agar para pelanggar hukum “tidak kecewa”
dengan pelayanan hukum yang dianggap angker dan menakutkan ini. Pelanggar
seakan-akan diperlakukan sebagai “pelanggan” yang kepuasannya sangat
diharapkan. Maka hadirlah beragam hukum syariat yang berwajah lembut dan tidak
mengerikan, para pembuat legislasi hukum di DPRA atau DPRK sekaligus merancang
hukum yang lembut dan “manusiawi” ini seakan mereka sedang merancang sanksi
yang ringan untuk dirinya sendiri. Seakan-akan para pembuat legislasi hukum ini
sedang merancang persekongkolan dengan oligarki yang sengaja memesan produk
hukum yang meringankan atau membebaskan mereka.
Baca Juga: Mengapa Malaysia Lebih Sukses Memerangi Terorisme
Para legislator ini
pun mendapatkan dukungan publik karena menghasilkan hukum syariah yang
—seakan-akan— berasal dari agama. Tidak sedikit diantara mereka kemudian
dianggap sebagai pahlawan yang membela agama, yang akan semakin menampilkan
citra agamis mereka, seakan-akan mereka baru turun dari langit setelah
berkonsultasi dengan Tuhan atau aparat langit lainnya.
Maka, kehadiran Qanun Nomor 11 Tahun 2008 tampaknya menjadi
tiada arti – terlepas dari masih lemahnya qanun ini karena tidak memuat secara
spesifik Ketentuan Pidana atas perbuatan kekerasan terhadap anak sebagaimana
yang telah diatur dalam pasal 28 nya. Besar harapan, jangan sampai publik
melihat Aceh sebagai “legal sanctuary” atau tempat persembunyian bagi
yang suka melakukan kekerasan seksual terhadap anak.
Pilihan meringankan, akankah membawa keadilan?
Pelaku AI dan MY tidak dijerat dengan UU Perlindungan Anak
yang seharusnya pelaku dapat dihukum bukan hanya lebih berat daripada
ancaman hukuman yang dimuat oleh Qanun Jinayat tetapi yang tidak kalah
pentingnya adalah adanya jaminan rehabilitasi bagi anak korban kekerasan
seksual.
Para aktivis hukum dan HAM merasa aparat hukum di Aceh sengaja
memilih hukum yang seringan mungkin untuk memproses para ustadz pedofil
tersebut. Hal ini sungguh sangat mencederai rasa keadilan bagi para korban yang
sudah rusak masa depannya. Pilihan hukum yang mana yang akan ditetapkan serta
bagaimana pilihan itu diambil oleh aparatur penegak hukum membutuhkan
perspektif dan legal reasoning yang baik. Pada prinsipnya kita tau bahwa hukum
tidak berada di ruang hampa udara, dan bagaimana mewujudkan hukum yang
berkeadilan adalah bergantung pada pilihan yang ditetapkan oleh aparatur
penegak hukum. Jangan sampai penerapan hukum yang lebih ringan ini mengacaukan
prinsip pluralisme hukum yang berlaku di Aceh. Bahkan banyak pelanggaran
pidana yang sebenarnya tak ringan pun karena ditafsirkan terbatas menjadi tidak
pasti dalam penerapannya.
Baca Juga: Pesan Untuk OPM: Teroris Tak Berhak Menuntut Kemerdekaan
Ambil contoh
keberadaan Qanun Nomor 9 Tahun 2008 yang memberikan pengaturan terhadap
sengketa/perselisihan adat dan adat istiadat yang meliputi: perselisihan dalam
rumah tangga; sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh;
perselisihan antar warga; khalwat/mesum; perselisihan tentang hak milik;
pencurian dalam keluarga (pencurian ringan); perselisihan harta sehareukat;
pencurian ringan; pencurian ternak peliharaan; pelanggaran adat tentang ternak,
pertanian, dan hutan; persengketaan di laut; persengketaan di pasar;
penganiayaan ringan; pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan
komunitas adat); pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik; pencemaran
lingkungan (skala ringan); ancam mengancam (tergantung dari jenis ancaman); dan
perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat dan adat istiadat.
Penanganan oleh aparatur terhadapnya seringkali disederhanakan
dan seharusnya tidak direduksi menjadi perkara ringan. Kasus kekerasan dalam
rumah tangga, jangan disederhanakan hanya menjadi sengketa rumah tangga biasa.
Begitu pula halnya dengan kasus pelecehan seksual, pembakaran hutan dan
perusakan lingkungan yang sebenarnya memiliki dampak yang sangat besar.
Aparat penegak hukum pun jangan sampai merasa terbebas dari
kewajiban due process of law (untuk memproses
tindakan-tindakan melawan hukum yang sangat serius ini). Diskusi ini tidak
bermaksud untuk melemahkan upaya penguatan atas hukum adat yang telah berlaku
di Aceh apalagi untuk melemahkan penegakan syariat Islam di Aceh. Tulisan ini
hanya ingin mengingatkan aparatur penegak hukum yang kiranya telah kehilangan sense
of crises untuk kembali sadar atas khittahnya sebagai penjaga
kepastian hukum, penjaga keadilan, dan sebaik-baiknya pemberi kemanfaatan bagi
masyarakat.
0 Comments